8. Cita-cita Rahasia ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ HARI ini aku bingung. Tadi pagi Bu guru menyuruh anak-anak satu persatu mengutarakan cita-citanya di depan kelas. Mereka rata-rata ingin jadi dokter, insinyur, pilot, tentara, sarjana hukum, sekretaris, menteri, dan lain-lain. Bahkan, Burhan yang duduk persis di depanku, ingin jadi presiden. Ketika giliranku bercerita, aku bungkam. Sebetulnya aku sudah punya cita-cita. Akan tetapi entah mengapa aku takut mengutarakannya. Aku malu kalau nanti teman-teman mentertawakanku. Soalnya, cita-citaku lain daripada yang lain. Dan sekian banyak temanku itu, ternyata tidak ada satu anak pun yang cita-citanya sama denganku. Inilah yang membuatku takut. “Mengapa engkau diam saja, Wulan? Apakah engkau tidak punya cita-cita?” tanya Bu guru ketika aku bungkam. “Barangkali Wulan ingin jadi baby sitter, Bu. Sebab ia senang menggendong boneka!” celetuk Rukmi tiba-tiba dan belakang. Anak-anak tertawa mendengar seloroh Rukmi. “Atau, mungkin Wulan ingin jadi artis, Bu. Ia sering saya dengar menyanyi di kamar mandi!” sambung Andi yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Kembali anak-anak tertawa. Wajahku merah padam mendengar olok-olok teman-temanku itu. “Jadi babby sitter atau penyanyi pun cita-cita bagus. Yang penting, dalam hidup ini kalian punya cita-cita. Tidak ada salahnya cita-cita itu dirancang sejak kecil,” tandas Bu guru. Aku tetap saja diam. Yang jelas aku tidak ingin jadi baby sitter atau penyanyi. Ada cita-cita lain dalam hatiku yang tidak seorang pun tahu. Ketika lonceng pulang sekolah berdentang, kembali anak-anak ribut membicarakan cita-citanya. Masing-masing bangga dengan cita-citanya itu. Si Rukmi misalnya, yang ingin menjadi dokter, mengatakan akan menolong orang-orang miskin di desa. “Mereka tidak perlu membayar jika berobat kepadaku,” katanya dengan serius. “Bahkan, khusus untuk kalian, nanti akan kuberi diskon!” lanjutnya. Teman-temanku tertawa. Sedangkan Ridwan yang bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian mengatakan, kelak akan memajukan kaum tani Indonesia agar hidupnya makmur. Bahkan ia bercita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras. Lain pula yang dikatakan Ismed, ia bercita-cita ingin menjadi arsitek ternama. “Nanti akan kubangun gedung-gedung megah pencakar langit berciri khas Indonesia yang dapat mengalahkan kota New York atau Tokyo!” katanya penuh semangat. “Tapi semua itu tidak ada artinya jika tidak ada penyanyi, bukan?” tukas Burhan tiba-tiba. “Nah, agar kita selalu terhibur, kita perlu mengundang Wulan pentas di panggung. Setuju kan, Wulan?” sambungnya pula sambil melirik ke arahku yang terus berjalan di tengah-tengah mereka. Hampir semua anak menoleh ke arahku. Lalu mereka tertawa. Aku sangat mendongkol. Sampai di rumah, aku langsung menemui Ibu. Kuceritakan peristiwa di kelas tadi. “Cita-cita mereka semuanya hebat, Bu. Rukmi ingin jadi dokter. Ridwan ingin jadi insinyur pertanian. Ismed ingin jadi arsitek. Burhan ingin jadi presiden. Diah ingin jadi menteri urusan peranan wanita, Tuti ingin jadi pramugari. Pokoknya, cita-cita mereka semuanya yahuud...!” kataku sambil mengacungkan jempol. “Dan kau? Apa cita-citamu?” tanya ibu sambil mempersiapkan piring untuk makan siang. “Itulah, Bu. Wulan malu mengatakannya. Wulan takut ditertawakan teman-teman,” jawabku. “Mengapa mesti malu, Wulan? Kalau cita-citamu bagus, tentu teman-temanmu mendukung.” “Tapi, Bu..”. “Ah, setiap manusia punya hak menentukan cita-citanya, Wulan. Lebih bagus kalau cita-cita itu dirancang sejak kecil.” “Apakah Ibu nanti tidak ikut mentertawakan bila Wulan utarakan?” tanyaku ragu-ragu. “Memangnya cita-citamu apa, sih?” Ibu menghentikan pekerjaannya dan dengan serius menatapku. Aku terdiam. Aku terpaku sejenak mendengar pertanyaan ibuku. Ya, apakah sebetulnya cita-citaku? Aku segera mengeluarkan sebuah majalah dari dalam tasku. Kubuka halaman tengah. Kuperlihatkan halaman itu kepada ibu sambil benkata, “Kemarin karangan Wulan dimuat di majalah ini, Bu. Lihat, ini nama Wulan.” Ibu mengambil majalah itu. Dibacanya sejenak. Ibu seperti tidak percaya. “Benarkah ini karanganmu, Wulan?" “Lho, Ibu ini bagaimana, sih? Nama Wulan kan jelas tercantum di situ. Alamat yang tertera di bawah karangan itu kan alamat rumah kita,” jawabku meyakinkan. Ibu mengangguk-angguk. “Ibu sekarang tahu. Wulan ingin jadi pengarang, bukan?” tanya Ibu kemudian. Aku tidak menjawab. Kepalaku menunduk. “Mengapa mesti malu, Wulan? Menjadi pengarang adalah cita-cita besar sekaligus mulia. Sama besar dan sama mulianya dengan cita-cita teman-temanmu itu. Tanpa pengarang, mungkin pembangunan di negara kita tidak akan berjalan. Mengarang adalah membangun rohani. Ingat, pada waktu zaman revolusi dulu, pengarang ikut berjuang. Mereka turut mengangkat senjata, dan senjata mereka adalah pena. Melalui tulisan, mereka mampu mengobarkan semangat rakyat untuk betjuang mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, maju tidaknya sebuah bangsa, diawali oleh kegemaran bangsa itu dalam membaca buku, termasuk buku cerita anak-anak. Sebuah buku, mana mungkin tercipta tanpa buah tangan pengarang?” Aku tidak percaya mendengar kata-kata ibu barusan itu. “Jadi, pengarang pun merupakan cita-cita besar, Bu?” tanyaku seperti bermimpi. “Percayalah, Wulan. ibu bangga dengan cita-citamu. Ibu sepenuhnya mendukung. Kau tidak perlu berkecil hati. Tugasmu adalah mendidik bangsa,” jawab Ibu sambil menepuk pundakku. Mataku berbinar-binar. Aku terharu. Kepercayaan diriku pun tumbuh. “Tugasmu adalah mendidik bangsa!” kata-kata terakhir Ibu itu membekas di hatiku. Ya, kini aku tidak perlu malu atau berkecil hati lagi dengan cita-citaku. Besok aku harus berani mengurarakan cira-ciraku ini di hadapan Bu guru dan teman-temanku di kelas. Aku ingin jadi pengarang! ***